Terletak di bagian timur Provinsi Jawa Barat, Kota Cirebon terkenal dengan julukan Kota Wali dan Kota Udang. Selain lekat dengan sejarah kebesaran masa lalu Kerajaan Cirebon, kota ini memiliki potensi keindahan alam, kuliner, dan wisata religi. Kota ini berkembang pula menjadi kota pelabuhan, sentra perdagangan, dan jasa.
Kota Cirebon merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Letaknya yang strategis dan dilalui jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) menjadikan ekonomi kota ini terus mengalami pertumbuhan.
Pada masa kolonial pemerintah Hindia Belanda, tahun 1906 Cirebon disahkan menjadi Gemeente Cheribon. Pada tahun 1957, Kota Cirebon berstatus kotapraja dan ditetapkan menjadi kotamadya pada tahun 1965.
Hari Jadi Kabupaten Cirebon ditetapkan pada 2 April 1482, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah. Penetapan hari jadi Kota Cirebon itu mengacu pada Perda 24/1996 tentang Hari Jadi Kota Cirebon. Dalam Perda itu, disebutkan peristiwa pembukaan pedukuhan Cirebon yang tercatat pada tanggal 1 Muharam 791 Hijriyah ditetapkan sebagai awal mula berdirinya Kota Cirebon.
Dengan luas wilayah 37,36 kilometer persegi, kota ini berpenduduk 333.303 jiwa (2020), Terdiri dari lima kecamatan dan 22 kelurahan, Kota Cirebon dipimpin oleh Wali Kota Nashrudin Azis dan Wakil Wali Kota Eti Herawati (2018-2023).

Cirebon dikenal dengan beragam julukan Kota Wali dan Kota Udang
Berjuluk Kota Wali karena Cirebon menjadi tempat penyebaran Islam yang dibawa oleh salah seorang dari Wali Songo. Sosok penyebar Islam di sana bernama Fatahillah atau Syekh Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Sementara julukan Kota Udang tidak terlepas dari cerita sejarah awal berdirinya Cirebon sebagai kota pelabuhan. Pada abad ke-15 awal, sebagian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai pencari udang rebon. Penetapan Cirebon Kota Udang disebutkan oleh Gubernur Jawa Barat pada tahun 1946. Julukan Cirebon Kota Udang juga merujuk pada perjalanan sejarah pembangunan Balai Kota Cirebon yang berada di Jalan Siliwangi.
Kota Cirebon ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) karena berada di wilayah pesisir utara Pulau Jawa yang merupakan jalur penghubung antara Jakarta-Semarang-Surabaya. Kota ini berada pada posisi strategis karena menjadi simpul pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Kota dengan motto “Gemah Ripah Loh Jinawi” ini menyandang empat fungsi, yaitu kota pelabuhan, kota perdagangan, kota industri (kecil) serta kota pariwisata dan budaya. Sebagai kota pelabuhan, Kota Cirebon diharapkan berperan sebagai pintu gerbang ekspor-impor termasuk transit perdagangan yang melayani wilayah sekitarnya.
Cirebon, Kota Perdagangan dan Jasa
Sebagai kota perdagangan dan jasa, Kota Cirebon diharapkan mampu menempatkan fungsinya sebagai kota koleksi dan distribusi hasil-hasil produksi baik yang berasal dari wilayah kota sendiri, dari daerah hinterland yang kaya dengan hasil industri olahan dan kerajinan maupun dari wilayah Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah bagian barat.
Visi Kota Cirebon 2018-2023 adalah “Sehati Kita Wujudkan Cirebon Sebagai Kota Kreatif Berbasis Budaya dan Sejarah”. Adapun misinya adalah mewujudkan kualitas sumber daya manusia Kota Cirebon yang berdaya saing, berbudaya, dan unggul dalam segala bidang serta tata kelola pemerintahan yang bersih, akuntabel, berwibawa, dan inovatif. Kemudian meningkatkan kualitas pelayanan sarana dan prasarana umum yang berwawasan lingkungan, serta mewujudkan keamanan dan ketertiban umum yang kondusif.
Sejarah Kota Cirebon
Dilansir dari laman resmi Pemerintah Kota Cirebon, sejarah asal-usul kota ini tercatat pada Manuskrip Purwaka Caruban Nagari. Menurut manuskrip tersebut, pada abad XIV di pantai Laut Jawa terdapat sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Banyak kapal asing yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat di desa nelayan tersebut dan juga terdapat aktivitas penyebaran agama Islam Pengurus pelabuhan adalah Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh (Padjadjaran). Karena pelabuhan ini semakin berkembang, Ki Gedeng Alang-Alang lantas memindahkan tempat pemukiman ke tempat pemukiman baru di Lemahwungkuk, mendekati kaki bukit menuju kerajaan Galuh. Sebagai kepala pemukiman baru diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cerbon.
Pada Perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran Walangsungsang kemudian mendirikan Kerajaan Cirebon, namun pemerintahannya diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Hal itu membuat Raja Galuh mengirimkan bala tentara ke Cirebon Untuk menundukkan Pangeran Walangsungsang, namun ternyata sang Adipati Cirebon keluar sebagai pemenang. Dengan demikian kerajaan baru di Cirebon resmi berdiri dengan rajanya yang bergelar Cakrabuana.
Berdirinya Kerajaan Cirebon menandai dimulainya kerajaan islam dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara. Kerajaan Cirebon atau Kesultanan Cirebon berdiri pada abad ke-15 hingga abad ke-16 Masehi. Sementara Menurut Sulendraningrat, bahwa berdasar naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon mulanya hanyalah sebuah dukuh kecil yang didirikan oleh Ki Gedeng Tapa.
Namun yang lama-kelamaan berkembang wilayah tersebut menjadi sebuah perkampungan ramai dan diberi nama Caruban yang dalam bahasa Sunda berarti campuran. Dinamakan Caruban karena di sana ada percampuran para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, latar belakang dan mata pencaharian.
Karena mayoritas pekerjaan masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah kegiatan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai untuk bahan baku pembuatan terasi. Air bekas pembuatan terasi inilah yang membuat terciptanya nama “Cirebon” yang berasal dari Cai (air) dan Rebon (udang rebon).